Selasa, 21 Juni 2011

Niat: Semakin Kuat Malah Semakin Menyanyat

            Seorang Nawa, gadis tanggung penuh anggun titipan yang mahaKuasa. Paras indah seindah Ummu Salamah[1] kekasih Nabi mulia. Nawa yang sedari kecil hidup di tengah-tengah keluarga sederhana. Yah, sederhana, oleh sebab bapaknya seorang kuli pabrik yang setiap harinya manguras tenaga demi menyambung hidup keluarga. Ibunya seorang ibu rumah tangga, yang sedari dulu ingin berjualan makanan ringan di samping rumah, namun sampai detik ini belum juga dilaksana olehnya.

            Hidup dalam keluarga sederhana dan dunia pelosok tiada bermasalah. Bagi Nawa, hidup adalah bagaimana dia bisa merubah. Merubah asa menjadi kuasa, kelemahan menjadi kekuatan, kondisi terpuruk menjadi terbaik, bukan malah terpuruk lagi terkutuk. Dalam naungan kelemahan yang terasa menyenyat itu, Nawa bangkit mencari tahu lebih dalam makna hidup dalam diri dan keluarganya.

            Seperti lazimnya, Nawa bersiap menghadiri pengajian rutin sore. Di masjid Nurul Yakin, Nawa mencari dan menggali wawasan agama. Karena prinsipnya, hidup tanpa pengetahuan agama hanya akan membutakan asa di balik warna-warni dunia. Nawa sangat ceria dengan hidup yang bergulir. Mengalir, tapi bukan sekadar mengalir. Mengalirkan makna, mengalirkan cinta dalam beragam asa. Dari situ, Nawa bertekat menciptakan keluarga kecil menjadi ahli syurga.  dengan tabungan ilmu dan wawasan, Nawa yakin kehidupan akan menjadi lebih bahagia.

            Nawa mulai mengusik ketenangan kitab-kitab mini yang terdiam di rak. Dia teringat tema pengajian sore ini berkisar Niat, Mental dan gerak. Nawa sempat terbingung, kenapa tema Niat lagi yang dibahas?. Padahal tema itu telah dibahas pada pertemuan kali pertama. “Ada apa dengan niat? Ditambah lagi dengan Mental dan gerak, apa sesungguhnya kaitan antara keduanya dengan niat,” suara Nawa dalam kebingungangan sesak.

            Niat adalah keinginan hati untuk melakukan sesuatu. Yah, itulah definisi ringan yang selama ini menyatu. Hati yang ingin berarti hati yang berani, hati yang memiliki setumpuk harapan untuk berbuat sesuatu. Tapi buat Nawa, apakah niat hanya sebatas keinginan dan harapan? Apakah hanya kemauan dan keinginan keras?. Barangkali itu yang menjadi pertanyaan dalam pembahasan niat sore ini.

            Di catatan kecil Nawa menuliskan beberapa pertanyaan seputar niat; apa sebenarnya makna hakikat niat?. Apa yang mendasari seseorang untuk menancapkan niat?. Apakah jika seseorang melaksanakan pekerjaan tanpa niat, pekerjaannya tersebut menjadi debu?. Setelah membaca lebih luas, ternyata Nawa sadar masih banyak pertanyaan yang menghantui di benak, kuat. “mudah-mudahan pertanyaan-pertanyaan ini menjadi bahan diskusi dalam pengajian nanti,” ucapnya mantap.

            Nawa telah sampai di mulut masjid Nurul Yakin. Masjid yang tak jauh dari rumah sederhananya. Dari masjid itulah Nawa dan rekan-rekan sebaya menempa kehidupan dalam bingkai keimanan. 

            “Assalamualaikum Warahmatullah, ustadzah Rasyidah”
          “Waalaikumsalam Warahmatullah, eh Nawa… Masaul khaer?”
          “Masaunnur ya Ustadzah”

Berbicara dengan ustadzah Rasyidah seakan berbicara dengan shahabiah Hafshah binti Umar yang teguh dan penyabar. Shahabiah yang dijuluki sebagai Shawwamah (selalu puasa) dan Qawwamah (Selalu bangun malam). Seakan dua julukan itu telah menyatu di jiwa ustadzah Rasyidah, beliau yang terkenal santun, penuh wibawa, serta gigih dalam menyampaikan ilmu-ilmu keagamaan.

            Pengajian sore telah dimulai, para hadirat telah siap menyimak setiap penjelasan yang akan disampaikan ustadzah. Namun, sosok Nawa kali ini lebih banyak menutup mulut. Tak seperti biasanya yang tak jarang memotong penjelasan ustadzah. Yang ada dalam benaknya hanyalah pertanyaan-pertanyaan yang telah dirangkumnya di lembar catatan kecil. Catatan itu sebagai pegangan ilmu yang selalu dibawa kemana dia pergi. Kebiasaannya adalah menuliskan hal-hal baru yang dia lihat dan dengar kemudian menanyakannya kepada ustadzah.

            Pada suhu konsentrasi penuh, ustadzah Rasyidah mulai menjelaskan tema Niat, Mental dan Gerak. Para hadirat sekalian yang mudah-mudahan Allah SWT mengiringi setiap langkah kita. Rasulullah SAW bersabda dalam hadits masyhur yang artinya: “Sesungguhnya setiap amalan tergantung dengan niat-niatnya dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya kepada Allah dan RasulNya dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak dia raih atau karena wanita yang hendak dia nikahi maka hijrahnya kepada apa yang dia hijrah kepadanya”. (HR. Bukhari & Muslim dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anh).[2]

            Tak sebatas itu, ustadzah Rasyidah kemudian menjelaskan sebab munculnya hadits tersebut. Beliau menyambung lidah imam Nawawi dalam syarh Muslim bahwa kisah adanya hadits tersebut adalah  tentang seorang lelaki yang berhijrah hanya untuk menikahi seorang wanita yang bernama Ummu Qois maka dia pun dipanggil dengan sebutan Muhajir Ummu Qois (Orang yang berhijrah karena Ummu Qois)”.

            Sungguh jenaka, Ustadzah menguraikan tema niat dengan jelas. Dalam uraian akhir, beliau sampaikan bahwa “niat merupakan tekat yang terhujam di hati. Dan sesungguhnya makna niat hanya bisa didapat dari dalam diri kita.” Mendengar ungkapan itu, Nawa makin teringat dengan sekumpul pertanyaannya. Dia berharap semoga di masjid pemancar cahaya iman ini jawaban-jawaban itu bisa dia dapat. 

            Selepas uraian tema, Nawa memberanikan diri tuk menanyakan gerangan apa yang menjadikan seseorang itu harus mengawali semua aktifitasnya dengan niat?. Kalaupun seseorang akan mendapat ganjaran sebesar niatnya, terus bagaimana yang tidak berniat sama sekali, akankah dia tidak mendapatkan apa-apa?. 

            Rupanya ustadzah Rasyidah telah menilai gerak-gerik Nawa yang sedari awal menempelkan jari telunjuk dan tengahnya tepat di pelipis kanan, dan itu sebagai bukti bahwa Nawa sedang merangkum sesuatu untuk diungkapkan. 

            “ Saudari Nawa… Semoga Allah SWT memberkahimu. Ustadzah boleh bertanya kepada saudari?”

          “ Dengan senang hati, ustadzah”

          “ Ketika ingin menuju masjid tadi, apa yang ada di benak saudari?”

          Tak berpikir panjang, Nawa menjawab dengan teguh

          “ Yang ada di benak Nawa adalah kenapa sih tema kita tadi kok niat, padahal kan tema itu sudah sering di bahas, Ustadzah.” Padahalkan masih banyak tema-tema lain yang belum kita bahas.

          “ Benar, apa yang saudari anggap. Mungkin tidak hanya saudari, bahkan mayoritas hadirat beranggapan semisal. Tapi, dari penjelasan ustadzah tadi, apakah saudari sudap paham apa itu hakikat niat?”

          “Belum terlalu paham”

          “Nah, itulah sesungguhnya niat. Tema yang tak pernah habis untuk dibahas. Karena niat berjalan seiring langkah kita”

            Nawa merenung sejenak. Menerjemahkan uraian ustadzah barusan. Apa iya yah, tema niat itu sangat luas?. Tapi, aku merasakan hal demikian. Semakin aku merasa paham tentang niat, ternyata semakin banyak yang tak kutahu tentangnya. Sehingga aku harus terus meminta penjelasan kepada ustadzah.

            “Saudari Nawa… Hakikat niat adalah apa yang tertulis di benak saudari itu. Kemudian tulisan itu saudari bawa ke masjid ini dan akhirnya itulah yang akan saudari dapatkan dari pengajian ini”

            Nawa mulai membuka diri untuk meyakini bahwa “niat merupakan tekat yang terhujam di hati. Dan sesunggunya makna niat hanya bisa didapat dari dalam diri kita,” seperti yang diungkapkan ustadzah.

            Penjelasan demi penjelasan telah dirangkum Nawa. Dan ujung dari pengajiannya Nawa mengucapkan beribu terima kasih kepada ustadzah Rasyidah beserta hadirat yang telah berkenan berbagi wawasan dalam mencari makna hakikat niat.


[1] . Nama sebenarnya Ummu Salamah adalah Hindun binti Suhail, dikenal dengan nama Ummu Salamah. Beliau dibesarkan di lingkungan bangsawan dari Suku Quraisy. Beliau seorang Ummul-Mukminin yang berkepribadian kuat, cantik, dan menawan, serta memiliki semangat jihad dan kesabaran dalam menghadapi cobaan.
[2] . dapat ditelaah di kitab “Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah”  karya Ibnu Daqiqil ‘Ied.