Selasa, 31 Mei 2011

Format Pendidikan Moral Upaya Mendidik Generasi Seutuhnya

Pada sebuah museum di Konstantinopel (Istanbul, Republik Turki) terdapat koleksi benda kuno berupa lempengan tanah liat berasal dari tahun 3800 SM, yang bertuliskan: We haven fallen upon evil times and the world has waxed very old and wicked. Politics are very corrupt. Children are no longer respectful to their parents. Makna yang terkandung dari tulisan itu adalah kita mengalami zaman edan dan dunia telah diliputi kemiskinan serta kejahatan. Politik sangat korupsi. Anak-anak sama sekali tidak hormat kepada orang tua (Cahyoto: 2002).[1]


Kesadaran manusia akan pentingnya Pendidikan adalah kesadaran utama yang harus dipertahankan. Pendidikan sebagai simbol adanya kekuatan “Akal” yang Allah anugerahkan kepada segenap manusia. Sehingga tidak heran jika pendidikan diatur dengan sistem sedemikian rupa sehingga dapat menciptakan kemudahan dalam rangka transformasi pendidikan.

Banyak ragam dan corak dari sistem yang bergulir hingga periode ini. Ada yang berbasis pendidikan akademik, berbasis pesantren, dst. Namun, kesemua basis itu memiliki tujuan sama serta impian satu “Mencerdaskan Anak Bangsa”. seiring bergulirnya waktu, cita-cita pencerdasan itu seakan melangit dan tak terbantahkan. Banyak lulusan-lulusan akademik yang ahli dalam bidang teknologi, matematika, itu adalah bentuk cita-cita. 

Perubahan demi perubahan dialami oleh proses pendidikan berlabel intelektual. Perubahan cukup dirasa adanya ketidakseimbangan antara ilmu yang didapat dengan penerapannya dalam taraf amal. Penelitian secara operatif dan objektif terus digulirkan untuk merekonstruksi cita-cita semu menjadi cita-cita hakiki “Intelektual dan Bermoral Tinggi”.

Pergeseran Nilai Moral
Moral yang mendefinisikan kata “Akhlak”[2] terfokus pada pendidikan atau budi pekerti yang mempelajari arti diri sendiri (kesadaran diri) dan penerapan arti diri itu dalam bentuk tindakan. Moral[3]menjadi basis mentalitas seseorang sangat mempengaruhi baik atau buruknya prestasi. Nilai moral yang sampai saat ini menjadi cita-cita seakan tergeser oleh keadaan zaman. Zaman dilakoni oleh teknologi cukup menuai perubahan yang signifikan terhadap moral seseorang. Moral yang baru tumbuh sudah dijatuhi oleh tangga besar yaitu “Teknologi”. Hal itu bukan berarti memojokkan teknologi, bukan berarti menilai teknologi sebagai propokator degradasi moral, tidak! Hanya saja teknologi menjadi motif tersendiri dari hasil berbagai penelitian. 

Secara lebih spesifik pergeseran moral sangat dipengaruhi oleh dua faktor mendasar:
  1. Faktor Internal
Faktor yang timbul dari diri seseorang akibat kelalaian dan kemalasan diri untuk mendalami nilai-nilai kemoralan. Moral yang seharusnya diutamakan malah dijadikan nomer Sembilankan, sehingga seakan moral malah menjadi tabu, menghabiskan waktu untuk membaca teori-teori. Faktor internal ini yang akan merubah sikap dan tingkah laku seseorang. Misalkan yang dulunya hormat kepada orang tua, hormat kepada yang lebih tua namun sekarang rasa hormat itu hilang digilas kesombongan. Karena telah lalai dengan kondisi moral pribadi. Dan jika hal ini terjadi, maka tidak heran apabila kemudian terjangkiti penyakit-penyakit yang lebih berbahaya dalam dirinya.
  1. Faktor Eksternal
Walaupun faktor ini muncul dari luar kepribadian seseorang namun sangat dominan untuk merubah karakter. Karena dari melihat, mencoba dan terbiasa, sikap pribadi seseorang akan berubah seketika. Faktor eksternal yang muncul dari keluarga yang kurang empati terhadap pendidikan moral, keluarga tidak terlalu memperhatikan masa depan moral anak, keluarga disibukkan oleh urusan dunia semata. Selain dari pada itu lingkungan sangat rentan akan musibah pergeseran moral pada seseorang. Lingkungan yang dipenuhi jiwa-jiwa harta, pemuda-pemudi yang hidup dalam kebebasan tak terkendali, kondisi ini sangat memungkinkan perubahan tingkah dan prilaku seseorang. 

Dari kedua faktor mendasar di atas tentunya seseorang akan dapat melihat perubahan-perubahan yang dialami oleh pengidap “Lalai dan Enggan”. Lalai pada pendidikan moral dan enggan untuk belajar moral!. Sehingga pribadi yang lemah akan mudah dijangkiti oleh penyakit-penyakit yang diciptakan oleh diri sendiri atau timbul dari luar kemudian menyebar keseluruh organ dan merusak sistem moral.

Tripusat Pendidikan Moral
Belajar dari konsep pendidikan yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara[4] (Bapak Pendidikan Nasional Indonesia). Beliau berkomentar bahwa fenomena sekolah tak ubahnya penjara bagi mereka yang memegang monopoli transfer ilmu pengetahuan. Sekolah seolah-olah menjadi satu-satunya tempat belajar. Guru yang berada di depan ruang kelas mendominasi peserta didik. Siswa-siswa tak merdeka itu dengan proses pendidikan yang otoriter dan tidak menjamin kebebasan semacam itu, bakal terbentuk hanya sekadar sebagai sekrup mekanisme.[5]

Konsep pendidikan semisal Ki Hajar Dewantara sejatinya mengedepankan daya upaya untuk memajukan tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin dan karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak. Konsep tersebut menunjukkan bahwa proses pendidikan sebagai suatu proses yang dinamis dan berkesinambngan. Dari situ tersurat wawasan kemajuan, karena sebagai suatu proses pendidikan harus mampu menyesuaikan diri dengan tuntunan kemajuan zaman. Tuntutan zaman yang tentunya menjadi sarana pengembangan diri untuk lebih menjadi orang yang bermoral dan berwawasan tinggi “Prestasi dan bermoral”. 

Demi menciptakan generasi prestasi bermoral tersebut tentunya ada cara dan konsep yang harus ditempuh. Konsep yang ditata dengan keseriusan penuh cita-cita sangat pantas untuk dijadikan rujukan dalam mencetak generasi-generasi yang handal, berwawasan luas dan bermoral tinggi. Konsep tersebut adalah Tripusat atau tiga lingkungan. Yang meliputi lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat serta gerakan pemuda.
  1. Lingkungan Keluarga
Pendidikan dalam lingkungan keluarga berlangsung pendidikan informal tentang agama, budi pekerti, dan dasar-dasar hidup kemasyarakatan. Pendidikan keluarga ini sangat ditentukan oleh anak dan para orang tua. Orang tua menjadi komponen besar dalam mencetak moralitas anak. Dengan cara mengajarkan keilmuan agama, pendidikan moral, kisah-kisah penggugah, dan pendidikan lain yang menghantarkan anak pada kesadaran untuk bermoral tinggi.
  1. Lingkungan Sekolah
Pendidikan ini lebih cenderung dilakukan dalam jam formal. Pendidikan yang diperoleh di sekolah-sekolah di bawah pimpinan guru mengenai berbagai ilmu pengetauan. Potensi intelektual akan cenderung mudah didapat dari jam formal disekolah. Karena pendidikan dilakukan secara rutin dan dengan sistem lembaga memadai sehingga menjadi khazanah bagi anak untuk mengembangkan pengetahuan umum. Dengan hadirnya perpustakaan sekolah, diskusi-diskusi rutin dengan mengambil tema-tema utama untuk mengasah mental anak didik dalam memahami ilmu.
  1. Lingkungan Masyarakat
Lingkunagn masyarakat atau yang lebih akrab dengan ajang pendidikan nonformal, merupakan tempat anak didik berlatih berbagai keterampilan dan memperluas hidup kemasyarakatan. Disamping itu lingkungan masyarakat menjadi tolak ukur keberhasilan anak didik. Karena lingkunagn sebagai sekolah berjalan sebagai tempat untuk mengasah wawasan.

Sebagai konsekuensi dari tripusat pendidikan itu adalah teladan bagi anak didik tidak terbatas pada kalangan pendidik saja, kedua orang tua, tokoh masyarakat, pemimpin masyarakat, maupun pemimpin bangsa pun jadi panutan. Semua itu akan menjadi tolak ukur keberhasilan penerapan sistem moral terhadap generasi penerus atau anak didik. Jikalau pemimpin dan tokoh masyarakatnya atau orang tuanya tidak bisa menjadi teladan atau panutan yang baik, maka secara otomatis anak didik yang sekaligus sebagai generasi penerus menjadi generasi muda yang susah untuk diperbaiki. 

Menjadi perhatian penting bahwa pendidikan seharusnya diarahkan agar tidak hanya mengejar intelektual saja. Akan tetapi, moral anak didiknya juga harus diperkuat. Jika yang dikejar hanya intelektualnya saja maka dinamakan pengajaran, tetapi jika yang dikejar intelektual dan moralnya maka hal itu bisa dikatakan sebagai pendidikan.

Pembentukan moral adalah tugas pengajar budi pekerti. Pengajaran budi pekerti yang tidak lain adalah mendukung perkembangan hidup para generasi, lahir dan batin dari sifat kodratinya menuju ke arah peradaban dalam sifatnya yang umum. Pengajaran moral ini hendaknya berlangsung sejak anak-anak hingga dewasa dengan memperhatikan tingkatan perkembangan jiwanya.

Sebagai bahan pengajaran, tradisi pendidikan islam yang bermetodekan syariat. Misalnya diterapkan pada anak-anak kecil untuk membiasakan mereka bertingkah laku dan berbuat menurut peraturan dan kebiasaan umum. Tripusat yang menyuratkan tiga unsur penting terpatri pada dua akhlak: (a) akhlak-vertikal (akhlak terhadap Allah SWT), (b) akhlak-horizontal (akhlak terhadap sesama manusia dan lingkungan).

Akhirnya dengan modal tripusat mudah-mudahan dapat menyelaraskan antara prinsip dunia (intelektual) dan prinsip agama (moral) yang kemudian dapat menciptakan keselarasan antara prestasi dan hati, antara wawasan akal dan keluasan spiritual, antara prestasi dan moral sehingga terwujud generasi yang cerdas secara intelegensi, emosional, dan spiritual.
Wallahu a’lam bis-Shawab.


[1] . disadur dari pendahuluan buku “Pendidikan Moral dan budi pekerti” (Dra. Nurul Zairah,M.si)
[2] .kaitannya dengan akhlak, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya aku (Nabi Muhammad SAW) diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (dalam riwayat yang lain dengan lafadz untuk memperbaiki akhlak). (HR. Bukhari).
[3] . Moral mengandung beberapa pengertian antara lain: adat istiadat, sopan santun, dan perilaku.
[4].Raden Mas Suwardi Suryaningrat yang kemudian lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara, dilahirkan pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Ia tergolong penulis tangguh pada masanya; tulisan-tulisannya sangat tegar dan patriotik serta mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
[5] .dipaparkan dalam artikel “Urgensi Pendidikan Budi Pekerti Bagi Dunia Pendidikan Kita (Harapan dan Tantangan Menyongsong Era Globalisasi Dunia)” Oleh Dra. Nurul Zuhairah, M.si