Sesungguhnya orang-orang yang berbai’at (berjanji setia) kepadamu, mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. Maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberi pahala yang besar.
( Q.S al-Fath:10)
Banyak perubahan yang tampak dialami oleh Manusia. Corak pemikiran, gaya hidup serta budaya mulai berpaling arah. Tak sedikit dari kelurga didera penyakit “kekacauan kelurga”. Sikap para penguasa yang luntur dari nilai-nilai sumpah dan janji setia. Ilutrasi di atas memberi teguran kepada Hati untuk mengoreksi kembali urgensi “Bai’at”.
Makna mendasar bai’at adalah “Janji setia dan taat” atau berjanji untuk setia. Seakan-akan orang yang berbaiat memberikan perjanjian kepada (Pemimpin) untuk selalu mentaati dan melaksanakan perintah yang dibebankan atasnya, baik dalam keadaan suka ataupun duka (Shidiq Hasan Khan “Iklal al-Karamah”).
Sepadan dengan ayat di muka bahwa bai’at berarti janji setia yang tercurah dari lubuk hati untuk menetapkan ketaatan dan kepatuhan. Sehingga, bai’at dipermisalkan seperti jual beli, berjabat tangan bukti kesepakatan. Seakan diantara kita menjual “sesuatu” dan yang lain menerima dengan sepenuhnya (Murtadha al-Zabidi “Tajul ‘arus").
Sesungguhnya bai’at menjadi urgen dalam segala hal. Bukan sekadar lafadznya, namun makna yang tersurat dari bai’at itu sendiri yang menjadi penting untuk diwujudkan. Manusia dengan fitrahnya telah mengikat janji kepada Allah SWT ketika di rahim Ibu ( Betul engkau Tuhan kami. Bersaksi tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad SAW utusan Allah. Bersaksi bahwa kita adalah Islam dan semua alam semesta ini hanya milik Allah).
Kepatuhan dan ketaatan menjadi nilai penting dalam bai’at. Ketika hamba berjanji setia atas keimanan kepada Allah berarti ia berkewajiban penuh merefleksikan keimanan itu dalam bentuk Ibadah kepadaNya. Bai’at agung yang diproklamirkan oleh para Sahabat kepada Rasul (bai’at al-Aqabah dan ar-Ridwan) dengan tujuan memperkokoh kembali nilai ketaatan dan kepatuhan dalam meniti jalan dakwah.
Bai’at merupakan ikatan kuat yang terbangun dari keyakinan dan kepatuhan. Ikatan yang mengarahkan hati untuk melakukan ketaatan dalam koledor yang benar dengan melaksanakan setiap tuntunan Allah dan menjauhi segala laranganNya.
Rasulullah ASW bersabda: Barangsiapa yang terlepas tangan dari ketaatan maka ia bertemu dengan Allah pada hari kiamat dalam keadaan tidak punya hujjah (alasan) kepada Allah. Dan barangsiapa matil dan di lehernya tidak ada bai’at maka matinya adalah seperti mati jahiliyah (H.R Muslim).
Sungguh agung nilai bai’at yang harus diperjungkan dan dipertaruhkan demi ketaatan pada Allah hingga balasan bagi yang melepas janji ibarat matinya orang jahiliyah. Imam Nawawi memaknai jahiliyah disini sebagai kaum yang tidak memiliki Imam.
Bai’at memancarkan kesetiaan, bai’at menaruh kesaksian, ba’at bak dua tali yang saling mengikat kuat, bai’at dalam ketaatan dan perdamaian.
Bai’at yang menjadi fokus di sini adalah bai’at vertikal yang menjadikan Allah sebagai penjual sumpah “Syariat” dan hamba sebagai pembelinya. Bai’at hamba kepada Allah atas keesaan, atas segala peraturan yang terumuskan dalam al-Quran, dengan Muhammad SAW sebagai penyampai risalah universal itu. Sekaligus ia sebagai permisalan tiada banding atas ketulusan dalam mengaplikasikan bai’at Allah di kehidupan baik dalam diri pribadi, di kala menjadi kepala keluarga, bahkan sebagai kepala negara beliau berjalan di atas janji setianya yang telah diikrarkan di hadapa Allah SWT.
Adalah kita sebagai umat Muhammad SAW ikut terpanggil untuk melihat, bermutaba’ah serta merevisi kembali bai’at yang telah kita ikrarkan. Kehidupan individu, keluarga dan Negara tak jarang melenceng dari nilai-nilai bai’at. Janji setia untuk mengemban amanah tercatat di sisi Allah dan sisi manusia. Individu yang memilih kehidupan “Kini” menjadi pertanyaan penting atas bai’at awal untuk berakhlak mulia, berbudi luhur dan hidup dalam manhaj islam.. pakaian yang kurang sopan dipandang, ucapan yang sering melukai teman menjadi contoh lunturnya janji hamba atas ketaatan dan kepatuhan pada syariat Allah SWT.
Begitu pun halnya dengan kehidupan bernegara. Terutama para pemimpin yang tertantang untuk mengoreksi kembali bai’at suci yang terikrar di hadapan rakyat. Mereka (perwakilan rakyat) sudah seharusnya siap membuka hati untuk melihat hak-hak rakyat yang selama ini diorasikan. Keteguhan dan kesiapan hati yang akan mendorong para pemimpin untuk tetap bekerja dalam garis-garis janji hingga tercipta Negara yang aman sentosa penuh perdamaian, Baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur.
Wallahu a’lam bis-Shawab.
0 komentar:
Posting Komentar